
Bazzar ASC dan Kelas Inspirasi Bisnis , menjadi salah satu upaya membudayakan IGA (Income Generation Activity) di SMA Al Muttaqin
Melahirkan para wirausahaan handal, telah dilakukan pemerintah dengan beragam pendekatan yang menyasar anak usia sekolahan. Salah satu upaya menggairahkan spirit kewirausahaan (entrepreneurship) dengan adanya mata pelajaran PKWU (Pendidikan Kewirausahaan) dan mengembangakan sekolah berbasis kewirausahaan.Hakikat pendidikan kewirausahaan dimaksudkan agar siswa memiliki sikap-sikap atau prilaku wirausaha.
Wirausaha adalah kemampuan seseorang untuk melihat, menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan untuk menjadi sukses. Definisi sukses disini pada ujungnya adalah kesuksesan dalam bentuk bebas finansial melalui beragam aktifitas bisnis/perdagangan. Bukankah dulu Rosul juga pedagang?
Banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan berdagang. Dari Rafi’ bin Khadij ia berkata, ada yang bertanya kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah menjawab: ”Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik)” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 5/263, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 607).
Berdagang disini, tentu tidak semata menjual produk, pada saat ini, bahasa yang paling tepat menafsirkanya adalah dengan berbisnis, memiliki usaha tertentu (self employee) dan pencapaian paling besar, adalah ketika manusia telah bebas secara finansial. Menurut Robert T. Kiyosaki, dalam memperoleh penghasilan manusia dibagi menjadi empat kuadran, yaitu; kuad-ran E (employee/kar-yawan), kuadran S (Self emlpoyee), kua-dran B (bussines owner/pemilik bisnis) dan kuadran I (investor/penanam modal). Jika berdasarkan kuadran ini, maka tujuan pendidikan kewirausahaan minimal menghasilkan siswa yang dimasa akan datang masuk di kuadran S (self employee).
Syukur-syukur bisa meraih sampai dikuadran B dan kuadran I. Sayangnya sampai saat ini penelitian yang dilakukan oleh Anik Kusmiarti, dkk. yang diterbitkan dalam Jurnal Riset dan Aplikasi: Akuntani dan Manajemen, menunjukan bahwa pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap intensi kewirausahaan positif, tapi tidak signifikan. Artinya hanya sedikit pengaruh pendidikan untuk membuat para mahasiswa mampu membuat usaha sendiri. Artinya, pendidikan kewirausahaan belum sampai bisa membentuk pola pikir.
Jadi bagaimana sikap kita terhadap fenomena ini ?. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan IGA (Income Generation Activity). Lebih dini lebih baik. Pendidikan IGA intinya adalah melibatkan anak dalam kegiatan yang dapat menghasilkan. Tentu aktifitas IGA ini harus menyenangkan, dijalankan secara santai sebagai aktifitas sampingan. Anak-anak harus tetap belajar. IGA sebetulnya adalah aktivitas keterampilan hidup, membekali mereka agar tidak malu mengerjakan kegiatan apapun yang dapat menghasilkan.
Di SMA Al Muttaqin, banyak siswa yang telah mampu memiliki keterampilan ini. Di kala istirahat, tidak sedikit kita melihat siswa berkeliling berjualan makanan. Siapa yang tidak kenal dengan “cilok kentang usus”, makaroni, sus, kelepon, moci dan lain lainnya. Bahkan dalam agenda tahunan yang bertajuk ASC (Al Muttaqin Science Challange), sekolah membuat kebijakan agar tiap kelas membuka stand bazar. Salah satu tujuannya adalah untuk memberi keterampilan ini. Tahun ini spirit kewirausahaan diperkuat dengan adanya “Kelas inspirasi”, yang mendatangkan sejumlah pengusaha.
Mereka berbagi pengalaman dan memberi wawasan bagi siswa dalam berbisnis. Berdagang makanan, bagi kita seolah-olah hanya kegiatan menjual produk. Tapi sebetulnya justru inti pendidikan itu letaknya disana. Keterampilan anak dengan IGA akan membuat mereka berani dan pede untuk menciptakan usaha. Anak-anak akan pandai mengelola uang, menghargai nilai uang. Selanjutnya mereka menjadi sangat paham tentang apa yang namanya kebutu-han, keinginan, dan permintaan pasar.
Dalam hal bisnis anak anak menjadi kreatif, berfikir aktif sehingga mereka akan belajar menangkap peluang usaha. Mungkin inilah sebenarnya yang dinamakan model pendidikan enterpreneur sejak dini. Anak-anak harus tetap menjadi “educated children” tetapi orientasinya bukan lagi mencari kerja. Tapi menciptakan income bagi keluarga dan juga banyak orang.