Kabar Palsu

Oleh Nizar Machyuzaar

         Sebermula lisan kemudian tulis. Namun, tradisi tulis kita masih berspirit lisan. Hal ini pernah disinggung dalam sebuah buku berjudul Kelisanan dalam Keberaksaraan (Damono) yang menelaah ihwal karya sastra yang masih belum lepas dari kuatnya tradisi lisan (sastra lama).

          Inskripsi dapat dimaknai sebagai peristiwa pematrian/pembakuan wacana lisan ke dalam tulis. kontekstualisasi wacana lisan ke dalam tulis menyertakan peristiwa (penutur-petutur dan situasi yang melingkungi keduanya) dan makna (pesan). Dengan inskripsi ini, wacana lisan di dekontekstualisasi oleh tulisan dan referensi wacana lisan dan maknanya pun telah di deotonomisasi. Artinya, tulisan telah mencukupi dirinya sendiri dengan struktur gramatik bahasa sehingga menciptakan peristiwa dan makna yang tidak langsung berhubungan dengan peristiwa wacana lisan.

         Otonomisasi wacana lisan melalui tulisan ini membutuhkan kepiawaian seorang penulis dalam aspek gramatikal (kaidah bahasa), suprasegmental (kode generatif tanda baca), dan stilistika (gaya/teknik pengungkapan). Dengan demikian, proses pemindahan wacana lisan ke dalam bentuk tulisan membutuhkan kompetensi bahasa yang mau takmau berhubungan dengan kode sosial dan budaya.

         Sebermula lisan kemudian tulis. sedemikianlah semesta teks berlimpah menghampiri kita di era milenial dengan daya gerak teknologi informasi. Kita sedang menghadapi zaman yang senyatanya homo simbolikum (makhluk berbahasa). Dahulu, kita membuat konvensi bahasa untuk berinteraksi dengan sesama dan lingkungan. sekarang, kita justru terperangkap dalam semesta basaha. Ada yang berenang, ada yang berselancar, bahkan ada yang tenggelam dalam semesta teks. Demikianlah ikhwal sosial media. Takada jarak antarruang dan waktu.

          Kemudian, ramai-ramailah kita mengonstruksi diri dari semesta teks ini. Mencari identitas diri. Bahkan, tubuh pun lancung bergerak mencari pemenuhan makna. Betapa jari-jari ini bergerak melampaui kesadaran hanya untuk bersosmed dan menemukan arti diri dengan komen dan selfie, hampir seperti mata, berkedip di luar batas kesadaran kita,

          Kemudian, ramai-ramailah kita mengonstruksi diri dari semesta teks ini. Mencari identitas diri. Bahkan, tubuh pun lancung bergerak mencari pemenuhan makna. Betapa jari-jari ini bergerak melampaui kesadaran hanya untuk bersosmed dan menemukan arti diri dengan komen dan selfie, hampir seperti mata, berkedip di luar batas kesadaran kita,

          Sampai di sini, saya teringat pemerintah dan rencana kurikulumnya yang menyertakan kompetensi literasi di setiap mata pelajaran. Tentu, hal ini sangat baik. Bukan hanya peserta didik yang mesti dibekali melek literasi, melainkan juga pendidik yang justru akan menjadi salah satu sumber belajarnya. Sampai di sini, saya teringat satu buku teoritis dan praktis dari Wasilah berjudul Berpikir Kritis. Hemat saya, tradisi tulis kita yang masih dibayangi oleh kuatnya tradisi lisan kita membutuhkan kecakapan dalam berpikir kritis. Termasuk memerangi hoaks.

 

Comments are closed.