Serbaneka Alumni Memaknai Cinta Dalam Mendidik

SERBANEKA PADA ALUMNI DALAM MEMAKNAI 

BERKAH CINTA DALAM MENDIDIK 

(dari guru maupun siswa)

Oleh Aep Saefuloh, S. Pd., M.Pd. I.

Berjihad dalam Pendidikan adalah Perbuatan Mulia, 

tidak terbatas oleh Ruang dan Waktu

  • Guru Assabiqunal Awwalun dan yang sudah tidak mengajar lagi di SMA Al Mutttaqin
  • Guru Assabiqunal Awwalun

 

Assabiqunal Awwalun artinya orang-orang atau sahabat yang pertama, In In Kadar Solihin, S.S adalah orang yang pertama kali saya kenal melalui berkas lamaran untuk menjadi guru pada waktu itu bulan Maret 2003, sehingga saya masih ingat map lamaran beliau dengan seabreg tulisan yang dilampirkan, sehingga menjadi daya tarik tersendiri karena beliau pandai dalam menulis dan SMA Al Muttaqin memerlukan sumber daya manusia seperti itu. Alhamdulillah beliau memberikan untaian mutiaranya dalam buku ini.

Berkah  Mendidik dengan Cinta merupakan sebuah karya kontemplasi yang cukup mendalam, merefleksikan diri bagaimana menjadi seorang pendidik yang memiliki kebarokahan bagi putra/putri didiknya.  Lebih dari itu, merupakan sebuah asa manifestasi ilahiah, melahirkan generasi muda muslim yang lebih baik, sebuah generasi emas yang bermanfaat bagi kehidupan umat dan bangsa. 

Untuk melahirkan generasi emas yang berkualitas, peran pendidik berada pada garda terdepan setalah pendidikan di lingkungan keluarganya. 

Terdapat sejumlah ayat dalam  Al Quran yang menuntun para pendidik agar mampu menebar cinta dan kasih sayangnya untuk masa depan mereka, melahirkan putra-putri yang dididik supaya lebih berkualitas. 

QS An Nisa: 9 menyebutkan, ‘Hendaklah orang-orang itu khawatir, jangan sampai melahirkan generasi yang lemah setelah mereka’,” 

Pesan dalam QS Annisa 9 ini, menjadi sebuah energi dalam menebarkan rasa cinta dalam mendidik.  Energi melahirkan generasi yang lebih mumpuni. Semuanya dapat terealisasi dengan bahasa cinta kepada anak dalam melakukan pendidikan.  

Dominasi bahasa cinta anak, menjadi kunci keberhasilan guru dalam memberi pengaruh pada peserta didik. Kasih sayang, empati, dan kelembutan hati, dan simpati, serta kolaburasi dari pendidik,  mendorong pesan yang disampaikan dengan cepat menembus pikiran dan hati seorang peserta didik.

Ketika disampaikan dengan bahasa cinta, suatu pesan dalam mentantransfer sebuah wawasan, memberikan sebuah perintah, akan masuk ke level keyakinan atau belief system,  maka akan mudah dikerjakan oleh anggota tubuh. Bila pesan ini sudah masuk ke belief system yang berada pada pikiran bawah sadar, maka dengan mudah sistem ini memerintah anggota tubuh untuk melaksanakannya. Berbeda dengan anak yang hanya tahu, tapi belum yakin, maka sulit untuk melaksanakannya.

Hal inilah, menjadi kekuatan inti dari refleksi Berkah  Mendidik dengan Cinta, buah dari pengalaman menjadi pendidik selama sekian puluh tahun, dan terasakan hasilnya dari pandangan “para mantan” peserta didiknya. 

Mendidik dengan cinta adalah tema yang sangat pas ditengah asa pendidikan berkualitas. Refleksi pendidikan berdasarkan cinta relatif jarang ditemukan, baik di sekolah maupun di dalam keluarga. Apalagi dewasa ini, dunia pendidikan tergelayuti oleh kemajuan teknologi yang serba instan dan praktis dalam transfer of knowledge. Kehilangan ruh sentuhan komunikasi yang lebih komunikatif antara pendidik dan peserta didik.   

Dalam buku ini, penulis ingin membagikan refleksi sekaligus informasi tentang model pendidikan yang terkait dengan ide dan strategi dalam mendidik  yang lebih humanis.

Penulis memberikan penguatan, jika pendidikan hanya mengajarkan kecerdasan intelektual dan mengesampingkan pendidikan tarbiyah (emansipatoris) yang mendukung dan memanusiakan manusia, maka pendidikan yang dikeluarkan menomorsatukan karakter dan moralitas luhur, malah melahirkan ketidakberhasilan.

Oleh karena itu, penulis  pada beberapa bagian tulisannya, memberikan sebuah simpulan menarik untuk keberhasilan dalam mendidik seperti kata-kata positif dan dapat mendukung perilaku baik anak, memberikan apresiasi apapun yang terjadi pada peserta didik. Dan yang lebih penting lagi, penulis memberikan tips, pendidik harus memiliki prinsip mendidik sebagai bagian dari ibadah dan memahami proses pendidikan sebagai bagian dari aktualisasi (perasaan) cinta. 

Berkah mendidik dengan cinta, insya Allah menghindarkan terlahirnya generasi  dzurriyatan dhia’fan, tetapi terlahir generasi dzurriyatan thayyibah. Sebuah ihtiar suci  Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami’ud du’a. Ya Allah, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS Ali Imran ayat 38). Sebuah asa membangun generasi emas dengan berkah mendidik dengan cinta. *

 

  • Guru Alumni (Pengajar yang meneruskan jihad dalam Pendidikan di tempat yang berbeda)

 

Mengapa disebut guru alumni ? pertanyaan yang akan muncul dari sebagian orang yang pernah dekat ataupun tidak dengan lembaga ini. Dikatakan guru alumni bagi siapa saja yang telah mengabdikan diri dan mengajar di SMA Al Muttaqin walaupun sebentar, maka dalam rangka meneruskan cinta dalam dunia pendidikan Alhamdulillah kebiasaan baik SMA Pavorit di Priangan Timur dan mulai beranjak ke Pprovinsi, Nasional bahkan Internasional ini senantiasa dipelihara sejak awal tahun berdiri 2003 yang silam, berikut goresan tinta emas dari Diana Arianti Suherman, M.Pd. 

Mendidik dengan cinta, dan mencari keberkahan di dalamnya… 

Kalimat ini seyogyanya menjadi ruh setiap orang tua,  terutama pendidik. Sebagai orang tua, sebagian besar dari kita selalu bisa menerima anak tanpa syarat, mencintainya tanpa syarat tetapi menjadi seorang guru, keyakinan dan keterampilan mencintai peserta didik memerlukan proses yang panjang. Perlu diasah, dipupuk, dibina dan disiram setiap saat. Buku ini menyadarkan dan mengajak kita arti pentingnya bahasa cinta seorang guru terhadap siswanya.

Tidak ada cinta tanpa penerimaan, hal ini tersirat jelas dalam buku ini. Hal ini adalah awal dalam menumbuhkan cinta. Menerima bagaimanapun kondisi siswa, juga penerimaan bahwa dirinya telah memilih jalan menjadi seorang guru. Seorang sosok yang digugu dan ditiru. Sudah selayaknya, para pendidik menyadari, tugas mereka bukanlah hanya mentransfer materi, tetapi setiap hari yang dilewati, dirinya sedang mengemban amanah membangun peradaban, membangun generasi terbaik, generasi emas. Dan ini tentu saja tidak bisa terwujud tanpa keberhasilan guru dalam mempengaruhi siswanya. Kasih sayang, empati, penerimaan, kelembutan hati dan lisan, yang timbul dari keikhlasan, hal inilah yang mampu mesinergikan ikatan batin antara guru dengan siswanya. Ketika sinergi ini telah terjalin, pesan moral, adab, kebiasaan baik tidak sulit untuk berkembang dalam diri siswa, dan inilah inti dari proses Pendidikan. 

Proses mencintai merupakan proses seumur hidup, Dalam buku ini, penulis mencoba membagikan refleksi bagaimana mendidik dengan cinta, proses mendidik secara humanis. Dengan Bahasa yang lugas dan mudah dipahami, ditambah dengan contoh-contoh konkrit, buku ini seolah menjadi angin segar dan pengingat bagi para pendidik untuk menyadari pentingnya memiliki keterampilan mengemas cinta dalam proses Pendidikan. 

Berkah mendidik dengan cinta, sesuatu yang harus dipahami setiap guru bahkan orang tua. Semoga mimpi dan cita-cita kita untuk melahirkan generasi terbaik dapat Allah anugrahkan kepada kita. Aamiin. 

Salam cinta untuk semua pendidik…

 

  • Para Alumni (Partner Dakwah)

 

Dulu ananda semua merupakan murid kami, peserta didik kami biasa belajar yang terbatas empat dinding tembok alias kelas, tapi setelah lulus tamat dan menjadi alumni, maka bergeserlah predikatmu dari siswa, murid, peserta didik menjadi partner dakwah, Allahu Akbar …

Pendidikan SMA hanya membantu meletakan dasar batu pertama ke arah kedewasaan untuk memaknai kehidupan, dengan ijin Allah swt. SMA        Al Muttaqin telah meluluskan ribuan alumni dan Alhamdulillah mereka tersebar diberbagai pelosok dengan aktivitas yang berbeda, berikut sebagian bentuk rasa kangen mereka dalam bentuk goresan tintanya yang original, semoga berkenan.

Affrilia Utami Angkatan 9, menuliskan bentuk cintanya kepada almamater pada tanggal 30 Desember 2020, beliau siswa yang aktif dalam menulis juga siswa yang kerap menyabet trophy dalam even perlombaan-perlombaan yang bergengsi, orangnya kalem, humble, hormat pada guru dan berwawasan luas sehingga bisa keliling dunia.

Mengenang cinta lebih dari kenangan,​ selintas kalimat tersebut muncul usai membaca beberapa tulisan Pak Aep yang saya terima.

Mungkinkah manusia dapat dengan sempurna mencintai? Banyak dari kita, mungkin termasuk salah satu di antaranya kita yang mencintai dengan ego dan kelekatan pada kepentingan diri. Kita tidak untuk dilahirkan dengan kesempurnaan, namun ketidak sempurnaan kita yang menjadikan pembelajaran akan hidup menjadi lebih indah dan menantang.

Dari tulisan pak Aep kita belajar agar cinta tidak menjadi cacat. Tidak menjadi transaksi. Apalagi ketika kegagalan cinta berubah menjadi benci. Cerita lama yang tak kunjung berubah di dalam kamus manusia. Cinta yang tidak dapat dipahami secara sempurna akan selalu mengandung kepentingan diri yang tersembunyi, bukan rasa saling memiliki dan kemudian menjaganya yang menjadikan besar peran fungsi pendidikan di dalamnya.

Padahal, cinta adalah inti dari semua agama dunia, terlebih Islam. Teladan terbaik manusia yakni Muhammad Saw, bagaimana beliau mengajari kebathilan dan kebodohan dengan cinta yang menyejukan. Beliau bukan saja milik Islam tapi semua manusia di dunia menjadi keteladanannya. Cinta yang tidak hanya diarahkan pada manusia, tetapi juga kepada semua mahluk, dan kepada sang Pencipta.

Maka sekali lagi Pak Aep meruncingkan suatu kunci dari kehidupan manusia untuk saling mencintai dan memberi. Dan pendidikan dengan cinta merupakan suatu solusi terbaik untuk mempertahankan kedamaian dan kemajuan di seluruh permukaan bumi hingga akhirat.

Selama mengenyam pendidikan di SMA Al Muttaqin, banyak dorongan yang buat saya lebih memahami tujuan dan prinsip hidup dari guru-guru yang melindungi pondasi pendidikan dengan cinta yang memagarinya. Anak-anak yang bisa lebih cepat berkembang dibahan bakari dengan peletakan cinta yang baik dan kuat yang kemudian menjadi kuda-kuda bagi diri dan hatinya.

Cinta yang seperti apa? Cinta dalam bentuk peleburan kepada Tuhanlah yang menjadi ajaran tertinggi. Cinta dalam kebaikan yang menjadi bentuk seni menjalani hidup dengan lebih baik dan penuh kedamaian dalam jiwa.

Barokallah pak Aep, terima kasih sudah menuliskan ini untuk kami kenang. Semoga bisa terus menulis dan menebarkan cinta sedalam-dalamnya.

Fawaz Muhammad Sidiqi Angkatan 8, Partner dakwah yang kedua ini, orangnya serius dan mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar dan juga hobinya menulis serta pernah menjadi bagian dari penentu kebijakan di Universitas Diponegoro yaitu mejadi angota Majelis Wali Amanah (MWA).

“… Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri, jika pendidikan yang berkembang saat ini juga kerap menanggalkan dan meninggalkan para anak didik dalam kubangan pesimisme. Oleh karena itu, tidak jarang pula kita menyaksikan banyak anak didik yang merasa kesepian di tengah keramaian dan perkembangan zaman seperti yang terjadi sekarang ini..”

Penggalan paragraf di atas jadi salah satu kutipan favorit saya dari tulisan pak Aep tentang Berkah Cinta dalam Mendidik. Sekalipun hampir setiap detil tulisannya memang memiliki pesan dan kesan mendalam. Sebuah tulisan yang tidak hanya datang dengan teori kosong tapi juga berangkat dari pengalaman seorang guru yang sudah lama  berkecimpung di dunia pendidikan.

Ide dan tajuk “Berkah Cinta dalam Mendidik” buat saya sendiri seolah jadi jawaban dan oase di tengah problematika pendidikan hari ini yang (sesuai pak Aep tuliskan) sering disalahartikan.

Banyak orang menganggap bahwa pendidikan adalah soal seberapa luas dan indah, serta lengkap fasilitas fisik; seberapa banyak peserta didik atau bahkan seberapa mahal biaya pendidikannya.

Padahal sekalipun masing-masing hal di atas mungkin saja penting, tetapi sejauh yang saya pahami dan rasakan justru sosok guru-lah yang menjadi unsur terpenting dari sebuah proses pendidikan.

Guru yang memiliki prinsip mendidik sebagai bagian dari ibadah dan memahami proses pendidikan sebagai bagian dari aktualisasi (perasaan) cinta.

Guru yang memiliki karakter demikian menurut hemat saya tidak hanya akan dapat menghasilkan murid berkualitas, tetapi manusia yang siap menghadirkan kebaikan dan perbaikan baik ketika masih belajar maupun pasca-lulus sekolah.

Barakallahufiikum…

Tulisan yang bagus dan cocok dijadikan bahan refleksi kita, pak 👍

Daniel Tohari Angkatan 13, sosok peserta didik yang sangat sederhana, bersahaja tapi penuh makna pada masa itu, dia senantiasa tawadlu kepada semua warga sekolah terlebih kepada gurunya, dengan ijin Allah bisa berlabuh di Universitas Brawijaya sesuai dengan passionnya, dan mengukir prestasi lewat penelitian sehingga bisa ke luar negeri dan membawa trophy, beliaupun ternyata menyimpan kenangan cinta dalam sanubarinya.

“…dalam sebuah keluarga juga untuk menuju keharmonisan butuh cinta dan perhatian lebih sehingga sejuta langkah terus dicari, begitupun dalam mendidik membutuhkan jurus akurat dan jitu supaya materi yang akan disampaikan kepada peserta didik bisa sampai ke lubuk hatinya…”

Penggalan paragraf tersebut menjadi hal yang menarik untuk diulas lebih dalam bagi saya pribadi. Suatu konsep “cinta” di dalam dunia pendidikan sangat penting untuk ditumbuhkembangkan. Perasaan yang menjadi modal utama dalam meningkatkan keharmonisan rumah tangga ini juga akan menjadi modal yang serupa bagi setiap guru dan siswanya di sekolah, bagaimana mungkin setiap coretan ilmu dari sang guru akan tersampaikan ke dalam hati siswanya jika konsep “cinta” ini tidak ada?

Mengapa demikian? Bayangkan saja seekor harimau yang terkenal dengan keganasannya akan luluh dalam belaian pawangnya. Seorang pawang ini bukanlah seorang pesulap apalagi dukun, tetapi hanya manusia biasa yang senantiasa menanamkan rasa cintanya kepada harimau setiap saat, analogi yang sama antara guru dan siswanya. Seorang guru yang hebat bukanlah pesulap ataupun dukun, melainkan seseorang yang senantiasa menanamkan dan merawat rasa cintanya kepada para siswa setiap saat. Mengapa setiap saat? Mengapa tidak di waktu sekolah saja? Karena guru akan senantiasa mendoakan para siswanya setiap saat agar menjadi seseorang yang bermanfaat bagi agama dan bangsanya di suatu hari nanti.

Penulis buku ini merupakan seorang guru yang bukan hanya sekadar bertitel “guru”, melainkan juga sesosok yang selalu menebar “cinta”nya kepada setiap siswa dengan karakter yang beragam. Saya menjadi ingat kembali pada waktu SMA ba’da dzuhur setelah sholat di masjid, Pak Aep dengan percaya dirinya memberikan kesempatan kepada saya untuk mengukir nama di ITB dengan mengikuti salah satu lomba yang cukup terkenal pada masanya, yaitu Olimpiade Astronomi Astara Ganesha 2017 dan dari lomba tersebut saya bisa merasakan bangganya mengalungi medali perak di depan salah satu kampus terbaik negeri ini, ITB. Tidak sampai di situ saja, Qodarulloh, Pak Aep hadir di dunia sekolah menengah saya untuk mendukung, memotivasi, dan memberikan saya pelajaran berharga tentang kesabaran dan pantang menyerah. Medali tersebut menjadi saksi sejarah bahwa guru yang cinta kepada siswanya akan mencetak generasi-generasi yang unggul di bidangnya. Terima kasih Pak.

Semoga ulasan singkat ini dapat menjadi “suplemen” bagi siapapun yang membaca buku ini, 

Barokalloh.